Senin, 14 Agustus 2017

Ketika Bintang Terbang di atasNya

senja
kala itu
entah dimana
di tanah jawa
di tanah yang kutaktahu bagaimana bisa
seperti kembali ke masa lalu
masa keemasan
takkunjung dapat
kumampu
berpisah dengannya

senja itu
seperti kembali lagi
dalam kelabu
dengan hati
dengan hati yang tak mengerti
menulis dalam gelap
pikiranku seperti tak terbatas
tentang semua hal

bawa aku
bawa aku kembali
ke tanah itu
ya
ya aku jatuh cinta

saat mata tak bisa terpejam
heningmu membuatku tenang
bebas
melayang
pergi
jauh
semakin jauh
bermata tiga
menandakan kedekatan dengan Tuhan

tumbuhan itu
tumbuhan itu
beriakan aku satu
tolong
aku rindu akan kehangatannya
pergi
jauh
jauh sekali
hingga aku terhenti
di sebuah tanah

tanah
berikan aku tanah itu
berikan
tolong berikan

Tuhan
maafkan aku
Tuhan
aku mencinyaiMu
Tuhan
lihat aku
Tuhan
maafkan aku

dalam gelap
aku tak mampu
melayang jauh
kemanapun itu
bawa aku
ke sisiMu

tanah itu
tanah yang tak dijanjikan
aku mendapatinya
aku berterimakasih
padaMu
Tuhan

tolong aku
tolong
Tuhan
dengar aku
apakah Kau disana?
Tuhan

Jumat, 12 Mei 2017

Ungkapan Terlarang

sengaja kubuatkan tulisan ini di tengah pengaruh THC yang sedikit membuatku teler.

Demi Allah yang nyawaku berada dalam genggamannya aku bingung.
Demi semesta yang dengan konsistensinya berputar dalam suatu kerangka kehidupan, aku heran.
Demi Muhammad yang ditangannya, peradaban bersinar, aku merindukannya.

Katakanlah.
Ketika masa berganti, aku terkapar sekarat dan mati.
Maka ketika itu, aku lebih baik diam.
Diam melihat dan menyadari bahwa aku, adalah aku yang hina.

Ah, kalian boleh saja memandangku lemah.
Ah, kalian boleh saja melihatku seperti orang tolol.
Ah, atau mungkin kalian mengharapku jatuh tersungkur karena kebodohanku.
Maka, ketika itu terjadi, aku lebih memilih untuk diam.

Merindukan matahari adalah mimpiku.
Katakanlah wahai angin utara.
Dimanakah kau simpan sebuah kebebasan?
Atau, haruskah aku pergi ke Utara untuk mencarinya?
Yang kutahu, Utara adalah aku di masa depan.

Wahai Selatan.
Tempat dimana peradaban berkembang.
Tidakkah kau iri dengan Utara yang begitu mempesona?
Atau kau terlalu asik dengan keindahanmu sehingga kau lupa rasanya memperhatikan?
Izinkan aku ke Utara untuk mencari keindahan itu, dan kuberitahukan kepadamu ketika aku pulang kelak.

Aku kadang heran dengan manusia.
Ya, aku bagian dari mereka.
Manusia.
Karena kebodohan merekalah -tentu saya tidak mau masuk kedalamnya-, suatu hal yang berguna menjadi dilarang.
Hai manusia!
Tidakkah kau sadar?
Ataukah kau hanya menjadi babu dalam kecanduan yang menjerumuskan?
Yang hanya membuatmu menjadi lebih bodoh dari primata giting.

Kuberitahu suatu hal.
Izinkan aku mengisap Cannabis Sativa, jika kau ingin aku membuat sebuah karya yang fantastis.
Sungguh, karena kebodohan manusialah sekarang khasiatnya pudar, bahkan sengaja dipudarkan.
Bodoh!

Atau, izinkan aku meminum kafein jika kau ingin melihatku memindahkan Everest dari titik kordinatnya ke Selatan yang indah.
Sungguh, kafein adalah teman terbaikku setelah aku tak lagi berhasrat untuk hidup.

Apa?
Kau heran?
Oh ya, tidakkah kau berfikir bahwa aku berubah?
Ya, itu karena aku menyerahkan diriku pada Tuhan Semesta Alam yang atas izinNya lah aku seperti ini.

Sungguh, kuberikan sebuah pesan untukmu.
Sengaja kurumitkan tulisan ini, dan kuperluas maknanya agar kau mengambil sebuah pelajaran.
Beribadalah, dan sembahlah Tuhanmu Yang Satu.
Bergantunglah hanya kepada Dia.
Karena tak ada Tuhan Selain Dia Yang Maha Esa.

Sabtu, 04 Februari 2017

KETERPAKSAAN

HI, bagaimana dengan hidup?
Masihkah kau tertutup?
Atau telah terbuka dengan malu sayup?

Demi Allah yang nyawaku berada di dalam genggemanNya,
Aku hampir terkapar mati.
Dengarlah...

***

Katakan suatu hal yang indah

Apakah kau mau?

Ya. saya membutuhkannya.

Baiklah, jika kau menginginkannya.

Silakan.

Berdoalah kepada Tuhan-mu yang satu dan tidak beranak, dan tidak diperanakkan.

Aku berusaha

Segala puji bagiNya, Tuhan Semesta Alam. Semoga keselamatan memberkahi perjalanan hidupmu.

Terimakasih. Semoga doa itu berbalik kepadamu.

Terimakasih.

Tapi, bolehkah kutanyakan sesuatu?

Boleh, selagi pertanyaan itu masih dalam kemampuanku dalam menjawabnya.

Ya, aku sering berdoa kepada Tuhan Semesta Alam. Tapi ada sesuatu yang membuatku meragukannya.

Apakah itu wahai saudaraku?

Kadang, aku berdoa dalam keterpaksaan. Aku hanya berdoa ketika keinginanku dan kebutuhanku saja. Aku tidak merasa nyaman jika berdoa disaat hatiku tidak ingin melakukannya.

Lalu? Apakah kau meninggalkan doa itu? Apakah kau sengaja meninggalkan kewajiban yang Tuhan telah berikan kepadamu?

Ya.

Demi Allah Tuhan yang seluruh hal yang ada di bumi ini berzikir kepadaNya, sungguh kau termasuk orang yang merugi.

Kenapa? Aku merasa tidak nyaman ketika berdoa dalam keterpaksaan.

Saudaraku. Dengarkan ini.
Apa yang kau suka, belum tentu baik untukmu.
Dan apa yang kau tidak suka, kadang malah baik untukmu.
Jikalau kau telah memutuskan untuk berserah, maka tetaplah di jalan itu.
Keterpaksaan dalam berdoa itu wajar.
Keterpaksaan dalam menjaga dan menjalani kewajiban itu wajar.
Memang, kadang kita harus memaksa diri kita untuk dekat dengan Allah.
Bagaimanapun, anggaplah keterpaksaan itu sebagai ujian dari Allah untuk kita.
Dia hanya melihat kesungguhanmu saja kok.

hhhhmm terimakasih saudaraku.

Dan satu lagi, berdoalah kepada Tuhanmu Yang Maha Mendengar.
"Ya Allah Yang Maha Pengampun.
Jika keterpaksaan dalam berdoa dan menjalani kewajiban ini baik untukku, maka tolong terimalah doaku kepadaMu.
Dan hilangkan rasa keterpaksaan ini di dadaku, agar aku bisa selalu mengingatMu disaat siang yang ramai, dan hening malam yang dimana hanya ada Engkau, aku, dan tangisanku yang terus menetes karena mengingat kebesaran dan kasih sayangMu.
Jadikanlah aku orang-orang yang berada di jalanMu yang benar."













Jumat, 20 Mei 2016

Ketika Kemudian

Apakabar matahari pagi?
Apakah kau masih sanggup menyinari?
Rinduku selalu terpatri.
Dalam hati.

Kini tibalah akhir dari persinggahanku.
Persinggahan dalam hati seorang wanita.
Dalam dilema aku hampir mati dan terjatuh.
Dilema masa kini yang tak ada habisnya.

Terimakasih.
Terimakasih karena telah berbagi.
Walau kau tak lagi terpatri sebagai sebuah kekasih.
Tapi kau telah membantuku untuk berdiri.

Aku.
Terjebak dalam permainan semu.
Sebuah keadaan yang tak pasti tapi bisa membuatku bisu.
Bisu akan kesadaran hidupku.

Kamu.
Ya, kamu.
Kamu telah membuatku jatuh.
Jatuh kedalam cinta sesaat dan semu.

Aku telah berusaha untuk maju.
Itulah usaha terbaiku.
Untukmu.
Tapi, aku tahu, kau tak memilihku.

Tak mudah bagiku untuk masuk.
Masuk kedalam cinta seorang wanita.
Dan, kau berhasil membuatku masuk.
Kedalam permainan pendek cinta.

Ya. Tak perlulah untuk terus berusaha.
Karena ku tahu, bukan aku satu-satunya yang mencoba.
Teman dekatkupun ikut membuka.
Membuka hatinya untukmu wahai wanita.

Kini tibalah saatnya bagiku untuk pergi.
Tidak untuk meninggalkanmu sendiri.
Tapi, menjadi teman, kakak, yang bisa berarti.
Berarti untuk kemudian hari.

Aku akan berusaha untuk menjadi diri sendiri.
Tanpa ada usaha untuk meniru orang lain.
Karena ku tahu, cinta itu mandiri.
Bukan perkara dan tiruan orang lain.

Kau akan dan tetap selalu terpatri dalam hati.
Ya, setidaknya menjadi orang lain yang tercatat dalam alunan hidup yang tak mesti.
Berbahagialah untukmu dikemudian hari.
Karena akupun juga berbahagia, dan itu pasti.

Semua salahku.
Yang menganggapmu sebagai sebuah prestise hidup yang rancu.
Aku berpaling dari kenyataan yang harusnya aku berada di situ.
Tidak untuk mengejarmu.

Ku harap, kita tak sampai disini.
Kau dan aku sekarang sudah satu.
Menjadi hal lain, bukan kekasih.
Dan inilah ungkapan hatiku.

Jakarta, 20 Mei 2016.

Made from the end of PM.

AAL

Minggu, 03 April 2016

Malam

Kadang aku lebih memilih malam sebagai tempat peraduan.
Heningnya membuatku tak dapat berpaling dari kerasnya kehidupan.
Ketika siang bagaikan api yang membara.
Dalam malam aku dapat tenang dan terjaga.

Malamku penuh tanya.
Entah mengapa kau seperti tak berdaya.
Dan entah mengapa aku seperti tak terduga.
Aku hebat ketika matahari berpaling muka.

Ketika kulihat surga firdaus dalam tatapan matamu.
Disaat itulah aku merasakan kenyamanan dan ketenangan indah dalam hidupku.
Seperti matahari pagi yang siap menyinari hari.
Engkau ada karena doa dan teriakan hatiku yang sepi.

Engkaulah jawaban surga, Sang Maha Pengatur kehidupan.
Engkaulah malam yang memberikanku ketenangan dan harapan.
Bagaikan senyuman rembulan ketika matahari di balik bumi.
Seperti itulah perasaanku, tersenyum indah, senang, tenang, dan siap menatap esok hari.

Anganku tak terbataskan oleh waktu, atau mungkin materi.
Kadang dia (anganku) datang dengan sendiri.
Pergi tanpa permisi.
Tetapi.
Engkaulah yang selalu menyalakan api anganku dalam menyertakan doa untukku, untuk kita, di kemudian hari.

Mungkin aku bukan manusia yang sempurna.
Aku berusaha untuk menjadi sempurna, walau aku harus memindahkan Menara Eifel dari titik kordinatnya.

Wahai pujangga hati.
Kumohon jangan pergi.
Aku tak dapat menjadi berarti.
Jika engkau pergi dan meninggalkanku sendiri.

Kadang, Tuhan punya jalanNya.
Dan, ku percaya kaulah jalanku untuk menuju masa depan.
Yang dimana hanya ada kebahagiaan, cerita, derita, masa sulit, yang terpenting kita dan buah yang kita hasilkan dari cinta murni kita.

Selamat tidur wahai wanita penyejuk jiwa.
Malam memang telah menjadi siang.
Kuharap engkau dapat menikmatinya dengan naungan Tuhan dan berkahnya yang banyak.


Untuk wanita penyejuk jiwa.

Rabu, 08 Juli 2015

Yang Terjelaskan


Halo.. lama kiranya saya tidak pernah menulis lagi di dalam blog saya. Hampir setahun mungkin lebih saya tak banyak berbicara panjang dan lebar dalam postingan blog yang saya buat kalau tidak salah di tahun 2013 ini. Baiklah kalau begitu. Izinkan saya kali ini untuk menulis atau sedikit mendeskripsikan beberapa hasil jepretan saya yang saya postingkan di Instagram dalam beberapa waktu belakangan. Bagi saya, memotret telah menjadi hobi tersendiri yang setidaknya membuat saya senang akan hasil-hasil jepretan saya pribadi. Tidak bermaksud untuk menyombongkan diri, walau saya tahu masih banyak karya-karya fotografer lainnya yang masih jauh lebih bagus dari hasil jepretan saya. Tetapi, jika bukan saya yang menghargai karya saya sendiri siapa lagi? Baiklah, semoga kalian juga senang melihat beberapa hasil jepretan saya yang saya akan coba menjelaskan berbagaimacam hal dalam proses pemotretan foto-foto tersebut.

Merindukan Hujan




Saya pikir inilah foto yang tepat untuk menggambarkan keadaan hati saya di tengah musim kemarau seperti sekarang. Walaupun saya sebenarnya sedikit bosan dengan hujan yang karena musim penghujan baru saja berlalu, tetapi bayangnya seakan tidak bisa lepas dari ingatan saya selama kemarau berlangsung. Ya, saya sangat merindukan hujan. Merindukan sejuknya, merindukan dinginnya, hingga merindukan berteduh di sebuah tempat dimana langit kelabu menghiasi bumi seakan menjadi sebuah selimut raksasa yang melindungi seluruh manusia dari terpaan matahari yang kian memanas.

Foto ini diambil ketika saya dalam perjalanan menuju bandara Soekarno Hatta. Saat itu saya ingin berpergi ke kota tempat saya dilahirkan, Banda Aceh. Awalnya, saya ingin memotret sungai yang ada di gambar tersebut –yang saya tidak tahu sungai apakah itu– yang sangat menarik perhatian saya untuk mengeluarkan kamera dan menjepretnya. Sebenarnya saya lupa mengatur fokus dari gambar tersebut, dan “jepreet!!” saya menekan tuas dan jadilah gambar ini. Ketika saya melihatnya awalnya saya sedikit kecewa karena tidak berhasil mendapatkan apa yang saya mau. Tetapi saya tidak terlalu menghiraukan, untunglah tidak saya hapus. Ketika di pesawat yang menghabiskan waktu 2.5 jam perjalanan dari Jakarta ke Aceh itu, saya melihat-lihat beberapa foto yang sempat saya jepret selama perjalanan dari rumah ke Soekarno Hatta. Setelah melihat-lihat foto ini dengan teliti, akhirnya saya mulai jatuh cinta dengan apa yang saya jepret. Namun saya tidak memutuskan untuk mempostingkan foto tersebut kedalam akun instagram saya. Saya memilih menunggu waktu yang tepat untuk mempostingkan foto tersebut.

Dan setelah hampir satu setengah tahun kemudian, ketika dalam ketidakjelasan keadaan yang saya alami di sebuah hari yang panas di Jakarta saya membuka file perjalanan saya ke Aceh tempo hari pada awal tahun 2014 tersebut. Puas saya melihat-lihat keindahan cipataan Allah di ujung pulau Sumatra, mata saya tiba-tiba tertuju pada gambar tadi. Betapa inginnya saya dengan sesegera mungkin untuk mempostingkan foto tersebut kedalam akun instagram saya. Seperti yang di awal telah saya sampaikan tadi bahwasannya saya sangat merindukan hujan turun di kediaman saya, maka timbulah kata-kata Merindukan Hujan untuk mendiskripsikan hasil jepretan yang tidak disengaja tersebut. Ya saya pikir kedua kata tersebut sangat cocok untuk menunjukkan perasaan saya dan apa yang tergambarkan dalam foto tersebut dikala musim kemarau ini. Ya inilah gambaran saya mengenai foto ini, semoga kalian  – siapapun yang sudi membaca dan melihat karyaku ini – merasakan hal yang sama dengan saya, dan setidaknya dapat menggambarkan apa yang tergambarkan di dalam foto ini.

Sendiri



Inilah salah satu foto yang paling saya suka. Mengapa? Saya akan membeberkan beberapa fakta mengenai foto ini agar kalian tahu mengapa saya sangat menyukai foto ini. Pertama, di dalam foto ini saya berhasil menundukkan waktu dan momen. Ya, dengan sekali jepret saya berhasil mendapatkan foto seorang wanita  –saya tidak mengenalnya sama sekali – yang sednag menyebrang di jemabatan penyebrangan Margonda, Depok. Kedua, foto ini diambil dari jarak yang jauh. Saya dapat mengatakan bahwa saya dan perempuan ini terpisah sekitar 200 meter ketika saya mengambir gambarnya. Keadaan saat itu posisi saya sedang berada di bawah ketika foto ini di jepret. Entahlah kali ini saya benar-benar tidak bisa mendeskripsikan gambar tersebut, saya benar-benar kehabisan kata bagaimana proses saya menjepret foto ini. Semoga kalian memahami maksud saya.
Awalnya saya ingin memberi caption “Wanita Pemberani” dalam foto saya kali ini di dalam akun instagram saya, karena pandangan wanita ini sangat tegas melihat lensa kamera teman saya dari kejauhan. Saat itu saya meminjam kamera milik teman saya untuk menghunting beberapa foto disekitar Depok Townsquare. Namun, entah mengapa di dalam benak saya, saya lebih suka memberi caption “Sendiri” dalam foto ini. Alasanya saya melihat wanita di dalam foto ini memiliki karakter yang kuat dan tangguh sehingga dia dapat menjalani hidup sendiri tanpa adanya pengaruh yang dapat mempengaruhi wanita itu dalam perjalanan hidupnya. Ya, itulah alasan saya menggambarkan foto ini. Kalian boleh saja berpendapat lain, tetapi inilah pendapat saya dan saya suka.

Sekian postingan blog saya kali ini. Niatan saya hanya ingin mendeskripsikan dua foto hasil jepretan saya sendiri yang saya suka. Apapun pendapat kalian mengenai foto-foto di atas itu adalah hak kalian untuk menilainya dari sudut pandang manapun. Disini saya hanya ingin menjelaskan sudut pandang saya mengenai foto-foto tadi. Tak masalah bagi saya, karena menurut saya sebuah karya seni pastilah semua orang memiliki beberapa pandangan yang tidak bisa dipaksakan. Seni itu untuk dinikmati, diresapi, dikhayati, dan dibayangkan. Kalau perlu di khayalkan. Semoga kalian suka. Terimakasih telah sudi melihat-lihat blog saya terutama postingan saya mengenai foto-foto ini.

Senin, 25 November 2013

Hari Guru Nasional



Halo, Indonesia. Apa kabarmu? Lama tidak bersua bukan berarti aku lupa dengan kamu ya. Kudengar kau sedang diselimuti ribuan masalah dan ratusan masalah baru yang seakan menambah pusing manusia yang ada di dalam-mu. Bolehkah aku bertanya wahai Indonesia? Bagaimana dengan kesejahteraan? Bagaimana dengan pembangunan? Dan, bagaimana dengan kondisi para pendongkrakmu? Baiklah, lupakan sejenak mengenai kesejahteraan dan pembangunan. Aku mengawatirkan para pendongkrak yang kudengar akhir-akhir ini cukup menyedihkan. Tahukah kamu wahai Indonesia apa siapa itu para pendongkrakmu? Dia adalah manusia-manusia tulus, dan penyabar, yang diciptakan Si Maha Tulus untuk membangunmu dari sisi yang paling dalam.
          Sebuah peradaban, tidak akan maju jika tidak ada manusia yang rela mengorbankan pemikirannya demi manusia suci yang baru lahir yang ada di dalam sebuah bangsa itu. Bahkan seperti yang telah kita ketahui bersama, peradaban besar adalah sebuah maha karya yang dibangun oleh mereka sering bilang dengan guru. Wahai Indonesia, aku ingin bertanya sekali lagi denganmu, bagaimanakah keadaan guru yang ada di dalam-mu? Tidakkah kau berfikir kalau mereka mengorbankan hidupnya demi kepuasan keingintahuan anak-anak suci yang ada di dalam-mu? Tidakkah terlintas di benakmu, bagaimana keadaan guru-guru yang berada di ujung kendalimu? Guru-guru yang kata mereka berada di daerah perbatasan antara pengaruh-mu dan pengaruh tetanggamu?
          Aku yakin. Jika bukan karena kasihan denganmu, dan tak tega melihat anak-anak yang ada di dalam-mu dengan rasa ketidaktahuan mereka, mereka (guru-guru) sudah pasti pindah ke tetanggamu untuk mencari sesuap nasi, atau sejenis penghargaan agar mereka lebih termotivasi lagi untuk mengajar. Kudengar tetanggamu sudah mulai, hhmm atau memang sudah lama mereka memuliakan para pendongkrak mereka. Kudengar tetanggamu sudah memandang sebagai kebudayaan mereka, kalau seorang guru itu kedudukanya sama seperti profesi luar biasa yang ada di negaramu (Indonesia). Dan kalau kudengar juga nih, kalau kedudukan guru yang ada di sana sudah sderajat dengan pilot, ataupun dokter. Bahkan lebih dari itu, para guru juga sudah menikmati nikmatnya dunia walau tetap dalam kesederhanaan mereka sebagai guru.
          Bagaimana keadaanmu Indonesia? Sudahkah kau meniru seperti mereka para tetanggamu? Hah? Apa? Kamu bilang kamu tidak mau meniru orang lain? Terus mengapa kalau begitu kamu dengan seenaknya meniru musik dari para tetanggamu? Sudahlah jangan kita bahas itu. Peniruan itu penting. Tapi ingat wahai Indonesia, meniru itu dalam bentuk yang baik, seperti yang sudah aku katakan tadi. Apasalahnya kamu meniru tetanggamu yang sudah memuliakan para pendongkrak mereka? Tidak ada yang salahkan? Aku mendengar beberapa waktu yang lalu, kalau ada guru yang membangun sekolah di sebuah desa yang ada di bagian barat-mu. Cukup prihatin aku mendengar, dan melihatnya wahai Indonesia. Kemana saja kamu? Tahukah kamu, kalau guru itu rela datang dari jantungmu hanya untuk mendidik anak-anak suci yang ada di bagian barat-mu itu? Aku lupa siapa namanya, tapi jika aku bertemu dengannya, pasti sudah ku kenalkan kau kepadanya. Suapaya kamu bisa saling bertukar pikiran terhadap apa yang dia rasakan.
          Mendirikan sebuah gubuk bekas kandang sapi, dan kemudian ia sulap menjadi ruangan untuk mengajar anak-anak dari suku pedalaman. Tak ada patokan harga tertentu bagi para murid yang ingin belajar di sekolah itu. Yang ada hanyalah sebuah kotak amal yang mungkin bagi mayoritas anak-anak suku pedalaman itu tidak mengetahui uang “Imam Bonjol”, “Pattimura”, apalagi uang “Soekarno-Hatta” yang bersinar itu, yang akhir-akhir ini sering menjadi pelacur atau bahan rebutan bagi para mualim yang mengendalikan dirimu. Tak perlu upah banyak, mengajar sahaja, si guru yang tak dikenal itupun sudah merasakan nikmatnya hidup di dunia. Dia tak peduli betapa susahnya ia hidup, ia tak peduli betapa sakitnya ia menahan genggaman dari lambungnya yang sepertinya sangat sekali merindukan nasi.
          Hai Indonesia. Ingatlah. Mengapa aku mengandaikan seorang guru sebagai pendongkrakmu? Seperti yang telah kukatakan tadi, guru itu adalah seorang pembuat maha karya dari sebuah kemajuanmu, atau yang lebih sering mereka katakan kemajuan sebuah bangsa. Sebuah pembangunan harus dimulai dari hal yang paling bawah, yang paling dasar. Tidak dengan membangun bangunan megah, atau mungkin membangun bangunan indah yang mereka para tetanggamu seakan mengagumimu di tengah ejekan mereka terhadapmu, karena manusia-mansuiamu itu tidak berkualitas. Ayolah Indonesia. Aku mohon kepadamu, hormatilah mereka para pendongkrakmu. Sejahterakanlah mereka. Buatlah sistem pembelajaran yang sesuai dengan karakter anak-anak yang ada di dalam-mu.

*selamat hari guru. Tidak ada guru, bangsa ini akan menjadi bangsa pecundang yang rela diombang-ambing dengan bangsa lain. Terimakasih guruku. Cintaku, takkan pernah hilang. Kaulah sinar yang rela bersusah payah menerangiku di dalam gelapnya dunia yang penuh dengan warna-warni kejamnya kehidupan ini. Semoga kau diangkat dengan derajat yang setinggi-tingginya oleh Yang Maha Tinggi. Amin.